Arena pertunjukan tarung bebas antar perguruan bela diri, atau lebih dikenal dengan sebutan pencak dor, yang di gelar di desa pucung lor, kecamatan ngantru, tulungagung, jawa timur, dipadati ribuan penonton. Masyarakat dari tulungagung, kediri, blitar dan sekitarnya, begitu antusias mengikuti, dan menyaksikan pencak dor, yang memang sudah lama tidak di gelar di wilayah tulungagung.
Pencak dor, merupakan sarana silaturahmi, dan sebuah tradisi untuk mempersatukan antar perguruan bela diri pencak silat yang sering terlibat permusuhan. Di pimpin sejumlah wasit, para peserta mencari lawan tanding sendiri yang diinginkan.
Meski merupakan suatu pertandingan, namun dalam pertarungan ini, tidak mencari si pemenang maupun yang kalah. Karena usai saling pukul, dan tendang di atas ring atau panggung yang dipagari bambu, kedua petarung akan saling berpelukan, bahkan bercanda dan tertawa bersama. Sehingga tidak ada dendam usai pertarungan, sesuai dengan semangat yang ada dalam pencak dor, yakni di atas lawan di bawah kawan.
Tradisi pencak dor sendiri, berasal dari lingkungan pondok pesantren lirboyo kediri, yang digunakan sebagai cara untuk menyelesaikan persoalan dikalangan santri. Lambat laun pencak dor berkembang tidak hanya dikalangan pesantren saja, namun berkembang menjadi sebuah pertunjukkan yang disukai masyarakat, khususnya masyarakat kediri, tulungagung, dan blitar.
Menurut pantia penyelenggara pencak dor, imam sopingi, pencak dor yang di gelar oleh pemerintah desa pucung lor ini, bertujuan untuk mempersatukan berbagai perguruan bela diri pencak silat, yang ada di tulungagung, dan kota-kota di sekitarnya, yang disatukan dalam suatu wadah paguyuban pencak dor.
Meski sempat diwarnai kegaduhan, yang di picu adanya seorang penonton yang mabuk miras, namun pertunjukkan pencak dor tersebut, berlangsung aman dan kondusif. Petugas kepolisian yang berjaga disekitar arena, dengan sigap mengamankan penonton mabuk tersebut, dari amukan penonton lain, dan membawanya ke mapolsek setempat. Dari Tulungagung Nada Wianto.